Keluarga Dicky Mohon Keadilan. Rusdi : Kita akan Banding

Sidang putusan perkara kecelakaan lalu lintas. Foto Istimewa.

CAHAYASERELO.COM, Lahat
- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lahat, Diaz Nurima Sawitri SH MH, didampingi Hakim Anggota, Chirisinta Dewi Destiana SH dan Maurits M Ricardo Sitohang SH memvonis Dicky Wahyudi (22) warga Desa Lubuk Sakti Kecamatan Indralaya Kabupaten Ogan Ilir dengan hukuman 1 tahun 10 bulan penjara. Karena dinyatakan bersalah, gara-gara terlibat kecelakaan lalu lintas.

Rusdi Hartono Somad SH dan Imam Rustandi SH dari Kantor Hukum Rusdi Hartono Somad selaku kuasa hukum Dicky, angkat bicara terkait hasil putusan tersebut. 

Menurutnya, hasil putusan tersebut tidak sesuai dengan hukuman yang seharusnya didapat oleh kliennya. 

Ia menilai, fakta dan pembelaan dalam persidangan, dikesampingkan, tidak dipertimbangkan lagi oleh Majelis Hakim PN Lahat.

"Klien kita akan banding. Vonis ini tidak sesuai dengan fakta persidangan. Fakta persidangan, korban sehat, mengakui tidak alami luka berat, karena masih bisa beraktivitas," tegas Rusdi, Selasa (5/12/2023).

Rusdi membeberkan, perkara ini bermula 24 April 2023 sekitar pukul 11.30 WIB lalu, di jalan lintas Desa Lubuk Sepang, saat itu Dicky bertabrakan dengan Wagisoh, sehingga alami luka jahitan di dada sebanyak 30 jahitan.

Akibat perkara itu, Dicki dikenakan Pasal 310 ayat 1 dan ayat 2, Undang-undang nomor 22 tahun 2009, tentang lalu lintas.

Namun ketika kliennya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Lahat, Jaksa Penuntut Umum (JPU) M Dio, JPU memberikan pasal tambahan yakni Ayat 3 pasal yang sama, yang isinya mengarah mengakibatkan ke cacat berat, dengan ancaman yang lebih berat, yakni penjara maksimal dua tahun. 

Padahal sejak awal pemeriksaan, korban sudah bisa hadir ketika dipanggil untuk dimintai keterangan, dan mengaku tidak ada keluhan luka berat.

"Memang masih perih, karena baru sudah jahitan. Tapi tidak mengakibatkan cacat panca indra. Selain itu, korban juga mengaku tidak ada keluhan berat, jadi unsur untuk Pasal 3 itu tidak terpenuhi," ujar Rusdi.

Sementara, Imam Rustandi menyebut, pihaknya sangat menyayangkan munculnya pasal tambahan tersebut. 

Karena dari awal pemeriksaan tidak ada pasal itu. Dan semestinya, jika ada pasal tambahan, pihaknya selaku kuasa hukum juga mendapatkan salinan atau turunan dari perubahan yang ada, sesuai dengan pasal 44 KUHP tersebut.

"Fakta lainnya, korban Wagiso sangat kooperatif ketika dipanggil untuk pemeriksaan. Visum dokter juga tidak menerangkan, luka yang dapat korban merupakan luka berat," terangnya. 

Disisi lain, Erik, keluarga Dicky membeberkan, akar masalah tidak terjadinya damai antara keponakannya dengan korban, bukan karena korban menolak. 

Tapi karena adanya oknum penegak hukum yang menyebut jadi perwakilan korban. 

Saat proses damai, oknum tersebut mulanya meminta uang damai sebesar Rp 20 juta, namun tak lama berselang oknum tersebut akhirnya meminta damai sebesar Rp 50 juta.

"Awalnya saat perawatan, si oknum itu sebut, untuk biaya makan minum selama sepekan di Palembang, sudah habis Rp 11 juta. Memang belum terjadi perdamaian, tapi bukan karena tidak ada etikat baik, kita terus berhubungan dengan korban. Persoalannya, si oknum ini, meminta uang damai sebesar Rp 50 juta, yang belum bisa kita sanggupi," bebernya. 

Erik meminta kepada proses hukum kedepannya terhadap keponakannya bisa lebih adil dan tidak tebang pilih. (*)