CAHAYASERELO.COM, BATAM – Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XX/2022, dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan terhadap Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Pasalnya, Peradi adalah lembaga yang tidak dibentuk oleh pemerintah, pun tidak dibiayai oleh Negara.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi bertema ‘Tinjauan Akademis Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XX/2022’, yang merupakan rangkaian acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Peradi 2022, di Swiss-Bell Hotel, Harbour Bay, Batam, Kepulauan Riau, Senin (12/12/2022).
Hadir pada diskusi tersebut dua narasumber, yaitu Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) Prof. Dr. Gayus T. Lumbuun dan Dosen Hukum Tata Negara dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid.
Dalam pandangannya, Gayus menilai legal standing dan tuntutan pemohon bukan lagi meminta MK untuk membuat makna atau menafsirkan Pasal 28 ayat (3) UU Advokat, melainkan membuat regulasi baru.
Gayus mengatakan, dalam pertimbangan putusan MK disebutkan bahwa salah satu cara umum untuk memastikan organisasi profesi tetap profesional, berwibawa, dan terjaga soliditasnya adalah melalui penerapan prinsip tata kelola organisasi yang baik.
“Tata kelola ini ditentukan oleh kesepakatan para anggota, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Salah satunya, adalah soal periodisasi pimpinan yang lahir dari kesepakatan para advokat sebagai bagian dari kebebasan berserikat,” tukas Gayus.
Menurutnya, partisipasi anggota dan kepastian hukum atas hak anggota sudah diatur dalam AD/ART organisasi yang dibuat oleh organisasi advokat sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam organisasi. “Pertimbangan dan penilaian MK ini sudah jauh masuk ke ranah kebebasan berserikat dan kebebasan mengatur serikat atau perkumpulan yang menjadi kedaulatan anggota,” tandasnya.
Gayus berkesimpulan, MK dianggap telah melakukan abuse of power berdasarkan tiga hal. Pertama, MK telah mencampuri kebebasan anggota organisasi dan atau kedaulatan organisasi dalam menentukan sikap organisasi. Padahal sikap tersebut tidak bertentangan dengan UU yang berlaku.
Kedua, MK merujuk kepada penalaran dengan alasan pertimbangan hukumnya, bukan pada konstitusi yang nyata dan tegas sudah diatur UUD dan UU sebagai dasar tujuan dan kewenangan dalam memutus perkara. Ketiga, MK mengesampingkan fakta yuridis dan faktual bahwa organisasi advokat adalah organisasi yang mandiri dan menjadi milik dari anggotanya sebagai pihak yang berdaulat atas organisasinya.
Sementara itu, Fahri Bachmid menjelaskan bahwa dalam Konsiderans UU No. 18 Tahun 2004, kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan pengaruh dari luar memerlukan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan serta hak asasi manusia.
“Sebagai profesi yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lain, advokat memerlukan organisasi yang merupakan ‘satu-satunya’ wadah—sebagaimana dimaksud dalam rumusan norma Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. Secara konstitusional, Putusan MK dalam Perkara No.014/PUU-IV/2006 tanggal 30 November 2006 pada hakikatnya menegaskan organisasi Peradi merupakan satu-satunya wadah profesi advokat,” katanya.
“Dengan kata lain, pada dasarnya, Peradi adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara. Dengan demikian, secara teoritis, berdasarkan ajaran hukum tata negara, lembaga atau organ negara merupakan institusi-institusi yang dibentuk berdasarkan hukum untuk menjalankan fungsi-fungsi negara, baik fungsi klasik maupun fungsi secara aktual,” urainya.
Soal masa jabatan (periodisasi) pemimpin organisasi advokat, Fahri memahami, kekuatan tetap dari putusan sebagaimana dianut dalam Pasal 60 Undang-Undang MK bertujuan untuk tercapainya suatu kepastian hukum. Namun, pemberlakuan tanpa pengecualian tertentu, dapat menyebabkan kemandekan dalam perkembangan hukum di masyarakat.
“Oleh karena itu, meski putusan MK mengikat secara umum, termasuk terhadap dirinya sendiri, akan tetapi MK tidak terikat secara mutlak pada kekuatan res judicata putusannya, jikalau terjadi perkembangan dan perubahan fakta-fakta yang relevan dengan penafsiran MK atas satu norma konstitusi pada putusan terdahulu. Keterikatan terhadap res judicata substantif hanya dipandang sah dan layak sepanjang fakta- fakta yang relevan dengan putusan tidak berubah dibandingkan ketika putusan dijatuhkan,” ungkap Fahri.
Secara prinsip, sambungnya, sesungguhnya perubahan pendirian posisi hukum Mahkamah terhadap satu isu hukum kontemporer tertentu adalah sebuah keniscayaan, atau sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang perubahan didasarkan pada alasan yang substansial. Secara doktriner maupun praktik, dalam pengujian konstitusionalitas UU, perubahan pendirian Mahkamah bukanlah sesuatu yang tanpa dasar.
“Hal demikian merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Bahkan misalnya, di Amerika Serikat yang berada dalam tradisi common law yang sangat ketat menerapkan asas precedent atau stare decisis atau res judicata, pun telah menjadi praktik yang lumrah di mana pengadilan, khususnya Mahkamah Agung Amerika Serikat mengubah pendiriannya dalam soal-soal yang berkait dengan konstitusi,” kata Fahri.
Perihal tindak lanjut terhadap putusan MK ini, baik Gayus maupun Fahri menegaskan, mereka tetap menghormati putusan tersebut. Namun, ke depannya, DPN Peradi dapat saja mengajukan suatu permohonan pengujian ulang materi yang sama—dengan tetap melakukan sejumlah pengkajian dan pertimbangan terlebih dahulu. (*)